07 Oktober 2012
14 November 2009
TEORI MOTIVASI AL-RAJA' DAN KHAUF (Rasa Harap dan Takut)
Motivasi (motivation) berarti dorongan, penyebab, daya bathin. Dorongan dari jiwa seseorang untuk berbuat dan tidak berbuat sesuatu. Dalam konteks Islam dapat diartikan dengan Niat. Niat dimaksudkan adalah penyegajaan ataupun dorongan bathin untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Niat juga bisa diartikan dengan motif, karena pengertian niat ada dua pengertian yaitu getaran batin untuk menentukan jenis sesuatu perbuatan, contohnya untuk sholat sholat subuh , tahiyatul masjid dan lain-lain. Niat yang kedua dalam arti tujuan adalah maksud dari sesuatu perbuatan. Menurut Asep Ridrid Karana kata niat jika disejajarkan lebih tinggi daripada motivasi karena motivasi seorang muslim harus timbul karena niat pada Allah.
Pada prakteknya kata motivasi dan niat hampir sama dengan motivasi, sama-sama dapat dipakai dengan arti yang sama, yaitu bisa kebutuhan (need), desakan (urge), keinginan (wish), dorongan (drive) atau kekuatan (strength). Walaupun dalam bahasa Inggris intention diartikan niat dan motivation dengan motivasi namun dalam berbagai penelitianpun kata motivasi yang digunakan.
Orang (manusia) akan melakukan ataupun tidak melakukan sesuatu, karena adanya dorongan ataupun niat karena untuk memperoleh sesuatu ataupun menghindari sesuatu. Dalam pandangan Islam tentang manusia Ada tiga kata kunci tentang manusia, yaitu basyar, insân, fitrah, dan nafs, (ruh). Konsep basyar seperti pada Surat Fussilat ayat:6: قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ يُوحَى إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ... menunjukkan posisi manusia sebagai makhluk biologis yang memerlukan kebutuhan dasar (physiological needs). Sedangkan konsep insan seperti pada surat Al-Hujrat ayat 13: يَاأَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ(13)menunjukkan bahwa manusia adalah totalitas yang memiliki fisik dan psikis, badaniah dan ruhaniah, individualistik, khas, unik, berbeda antara manusia satu dengan yang laiinya. Sementara nafs dan ruh seperti pada surat Yusuf ayat 53: وَمَا أُبَرِّئُ نَفْسِي إِنَّ النَّفْسَ لَأَمَّارَةٌ بِالسُّوءِ إِلَّا مَا رَحِمَ رَبِّي إِنَّ رَبِّي غَفُورٌ رَحِيمٌ (dan aku tidak akan membebeskan diriku …..) merupakan tentara hati manusia (junûd al-qalb). Hati manusia ini telah memiliki potensi yang disebut fitrah. Demikian penjelasan Al-Ghazâli.
Menurut Al-Ghazali sebuah perilaku terjadi karena peran dari Junud al-Qalb atau tentara hati. Qalbu adalah sebuah gumpalan darah yang dalam aliran sekarang digambarkan sebagai bentuk LOVE. Dalam sebuah Hadits riwayat Imam Bukhori disebutkan … أَلَا وَإِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ أَلَا وَهِيَ الْقَلْبُ artinya: Perhatikanlah, bukankah dalam suatu tubuh manusia itu ada suatu gumpalan darah, apabila dia baik, maka keseluruhan tubuh itu akan menjadi baik, tetapi sebaliknya apabila diai tidak baik (rusak), maka keseluruhan tubuh itu juga akan menjadi rusak, itu Qalbu. Dalam diri manusia terdapat dua kelompok Junud al-Qalb, yaitu yang bersifat fisik berupa anggota tubuh yang berperan sebagia alat dan yang bersifat psikis. Yang bersifat psikis berwujud dalam dua hal yaitu syhawat dan ghadlab yang berfungsi sebagai pendorong (iradah). Syahwat mendorong untuk melakukan sesuatu (motif mendekat) dan ghadlab mendorong untuk menghindar dari sesuatu (motif menjauh). Adapun tujuan dari perilaku tersebut adalah untuk sampai kepada Allah. Tetapi dalam praktiknya perilaku ini terbagi ke dalam hirarki motivasi Ammarah (hedonistik), motivasi Lawwamah (skeptik), dan motivasi Muthmainnah (spiritualistic).
Adanya dorongan dalam diri manusia menimbulkan suatu tindakan yang disebut dengan amal ataupun aktivitas. Amal dalam Islam merupakan aktivitas terpenting bagi seorang muslim dalam kehidupan di dunia. Karena itu konsep ini dipadankan dengan iman, dijelaskan ratusan kali dalam Al-Quran. Amal dalam Islam dalam berbagai bentuknya mempunyai tujuan ganda, yakni merealisasikan keuntungan di dunia dan akhirat. Dalam perspektif Islam, aktivitas perekonomian harus disertai komitmen untuk mematuhi petunjuk Tuhan yang digariskan Al-Quran dan dijabarkan melalui as sunnah. Islam telah menetapkan pekerjaan bagi seorang muslim sebagai hak sekaligus kewajiban. Islam menganjurkan bekerja dan memerintahkan agar pekerjaan dilakukan dengan sebaik-baiknya. Dalam Al-Qur’an banyak ayat yang bercerita tentang penting dan urgennya bekerja tersebut. Seperti Firman Allah pada surat Al-An’am ayat 135:قُلْ يَاقَوْمِ اعْمَلُوا عَلَى مَكَانَتِكُمْ إِنِّي عَامِلٌ فَسَوْفَ تَعْلَمُونَ مَنْ تَكُونُ لَهُ عَاقِبَةُ الدَّارِ إِنَّهُ لَا يُفْلِحُ الظَّالِمُونَ , surat At-taubah ayat 105: وَقُلِ اعْمَلُوا فَسَيَرَى اللَّهُ عَمَلَكُمْ وَرَسُولُهُ وَالْمُؤْمِنُونَ وَسَتُرَدُّونَ إِلَى عَالِمِ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ Prinsip pertama yang ditegakkan Islam dalam mengatur masyarakat ialah agar setiap orang bekerja untuk memenuhi kebutuhan diri dan orang-orang yang menjadi tanggungannya, karena dalam pandangan Islam bahwa siapa saja yang berusaha pada dasarnya hasil ataupun akibat perbuatannya itu adalah untuk dirinya sendiri. Perhatikan firman Allah pada surat Al-Isra’ ayat 7: اِِنْ أَحْسَنْتُمْ أَحْسَنْتُمْ لِأَنْفُسِكُمْ وَإِنْ أَسَأْتُمْ فَلَهَا ...
Konsep motivasi spiritual menurut Umar Chapra sejiwa dengan apa yang dikemukakan Max Weber bahwa dunia Barat berkembang tidak didorong oleh nilai konsumtif melainkan oleh motivasi dari nilai kreatif yang disebut etos karya. Karena Max Weber seorang protestan, maka etos karya itu disebut etos Protestan, itulah etos agama. Umat Kristen juga mempunyai pandangan bahwa pembangunan perlu memiliki apa yang disebut dengan transcendent persfektive; artinya faktor tindakan Allah (dibaca Alah) dalam pembangunan atau sejarah manusia. Ajaran agama Hindu sendiri juga memiliki banyak aspek teologis pembangunan diantaranya Tri Hita Karana yang berarti tiga hal (Karana) yang akan membuat bahagia (Hita). Tiga hal (unsur) tersebut adalah Prajapati (Tuhan yang mahaesa), Praja (Manusia), dan alam lingkungan manusia. Konsep ini pula dijadikan disertasi oleh Anak Agung Gde Agung (Mantan Menteri Negara Masalah-Masalah Kemasyarakatan pada Kabinet Gus Dur) yang dipahat namanya disejajarkan dengan sembilan tokoh lainnya seperti Nelson Mandela atau Albert Einstein. Al-Quran sendiri menegaskan adanya pengamalan hidup manusia dan kemuliaan bekerja. Masih banyak ayat Quran yang memotivasi manusia untuk menekuni pekerjaan sehingga hidupnya menjadi tenang dan aman, maka dari itu pula manusia mampu bersikap positif, serius, tekun dalam bekerja serta merasa yakin terhadap janji Sang pemberi Rezeki.
Menyandarkan rejeki kepada Allah SWT bukanlah ajakan untuk bersikap fatalis dan berpangku tangan, melainkan merupakan ajakan untuk bekerja. Berpangku tangan bertentangan dengan hukum dan peraturan hidup manusia, serta bertentangan dengan misi yang diemban manusia. Islam mengajak individu untuk mendayagunakan potensi yang dianugerahkan Allh SWT kepadanya untuk bekerja dalam batas-batas kemampuan,tanpa menunggu pemerintah mengurus seluruh keperluannya.
Suatu tesis baru tentang teori motivasi Islam adalah teori motivasi yang dikemukakan Al Ghazali. Karya keilmuan Al Ghazali dapat dikonstruksikan sebagai sebuah proses teorisasi ilmu yang memiliki karakter ilmiah, bukan sebagai wacana agama, etika dan tasawuf belaka, karena karya-karya Al Ghazali bisa diinterpretasikan dan diaktualkan untuk kepentingan yang lebih luas. Hal demikian termasuk dalam kepentingan manajemen, khususnya ketika memahami teori motivasi dalam manajemen smber daya manusia. Al-Gazali atau Imam Gazali adalah bernama Abu Hamid Al Ghazali (1085-1111 M) adalah salah seorang ilmuwan muslim yang termasyhur sebagai tokoh muslim dari kelompok Ahlu Sunnah, yang juga dikenal sebagai Hujjatul Islam. Salah satu karya utamanya adalah Ihya ‘Ulumuddin. Imam Al Ghazali memandang proses pemotivasian seseorang sehingga mampu meningkatkan prestasi kerjanya. Perspektif Al Ghazali dalam motivasi didasarkan pada bukunya Ihya Ulumuddin, khususnya dalam rubu (bagian) khauf wa raja’ (takut dan harap).
Jika diperhatikan sistematika penulisannya rubu ini terbagi kedalam dua bagian, yaitu raja’ (harap) yang terdiri atas 3 bab dan khauf (takut) sebanyak 9 bab. Hal ini mengisyaratkan bahwa Al Ghazali memandang rasa takut memiliki wacana yang lebih penting dari rasa harap, rasa takut merupakan konsep dengan gradasi dari negatif sampai positif, kendatipun demikian pembahasan keduanya tidak jauh berbeda.
Harap dan takut ini merupakan dua sayap, yang merupakan sarana pendakian orang-orang yang berupaya mendekatkan diri kepada Allah menuju setiap peringkat yang terpuji. Juga, merupakan dua pisau, yang dengan keduanya, orang membedah titian jalan akhirat memotong setiap tebing yang sulit didaki. Harap-takut ini bagi Al Ghazali memiliki dua manfaat yaitu (1) sebagai daya dorong untuk melakukan perjalanan dan perkembangan mental spiritual sehingga memiliki prestasi yang terpuji, (2) menjadi kontrol atau pisau kritis terhadap perjalanan spiritual atau mental. Implikasinya, yang mendorong kita untuk maju adalah adanya rasa harap untuk membuat kita lebih giat beramal kebajikan dan rasa khauf yang membuat kita untuk tidak melakukan perbuatan yang tidak produktif. Di sinilah tampak urgensi peran khauf dan raja’ sebagai motif dasar dalam menggerakkan prilaku manusia di muka bumi.
Di dalam Al-qur’an banyak firman Allah yang menjanjikan raja’ (harapan) bila orang berbuat baik akan diberi syurga dan lain-lain. Seperti firman Allah pada surat Assajadah ayat 19: أَمَّا الَّذِينَ ءَامَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ فَلَهُمْ جَنَّاتُ الْمَأْوَى نُزُلًا بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ , Surat At-Thin ayat 6: ِإ لَّا الَّذِينَ ءَامَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ فَلَهُمْ أَجْرٌ غَيْرُ مَمْنُونٍ, demikian pula tentang perasaan khauf (takut) seperti firman Allah pada surat Al-Isra’ ayat 10: َوأَنَّ الَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ بِالْآخِرَةِ أَعْتَدْنَا لَهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا , An-Nisa’ ayat 138 ِبشرِ الْمُنَافِقِينَ بِأَنَّ لَهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا . Rasulullah bersabda, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Tirmidzi, Nasa’i dan Ibnu Majah dari Anas: “Keduanya (takut dosa dan rahmat Allah) itu tidaklah berkumpul pada hati hamba pada tempat ini, melainkan ia diberikan oleh Allah apa yang diharapkannya dan ia diamankan oleh Allah dari apa yang ditakutinya”.
Takut, dalam Islam juga diposisikan sebagai ujian, sebagaimana difirmankan oleh Allah dalam Al Quran, “Dan sesungguhnya akan Kami berikan cobaan kepadamu dengan sedikit rasa takut, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan” (QS. 2:155). وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِنَ الْأَمْوَالِ وَالْأَنْفُسِ وَالثَّمَرَاتِ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ Menurut Sayyid Quthb, ayat tersebut menjelaskan tentang adanya keniscayaan untuk menempa jiwa dengan bencana dan ujian. Adanya rasa takut, merupakan ‘training’ mental dan jiwa manusia. Oleh karena itu mereka yang memiliki positive thinking yang akan berhasil melewati rasa takut dan mampu meningkatkan kualitas hidupnya.
Nilai keutamaan antara khauf dan raja’ ini terletak dalam relevansinya dengan penyakit yang dimilikinya. Landasan teologisnya, terlihat dari pernyataan dalam Al Quran yang memposisikan keduanya secara bergantian. Dalam Surat As Sajdah, rasa takut di dahulukan dari rasa harap, “… mereka berdoa kepada Tuhannya dengan perasaan penuh ketakutan dan pengharapan…”(QS.Sajdah:16). تَتَجَافَى جُنُوبُهُمْ عَنِ الْمَضَاجِعِ يَدْعُونَ رَبَّهُم خَوْفًا وَطَمَعًا وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ (arti:Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya) Sedangkan dalam Surat Al Anbiya’, rasa harap diposisikan lebih dahulu dibandingkan rasa takut, “…dan, mereka berdoa kepada Kami dengan pengaharapan dan rasa takut…”(QS. Al Anbiya’:90). فَاسْتَجَبْنَا لَهُ وَوَهَبْنَا لَهُ يَحْيَى وَأَصْلَحْنَا لَهُ زَوْجَهُ إِنَّهُمْ كَانُوا يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَيَدْعُونَنَا رَغَبًا وَرَهَبًا وَكَانُوا لَنَا خَاشِعِينَ. Rasa takut dan harap dapat menjadi obat bagi penyakit mental manusia, setelah sebelumnya telah melakukan diagnosiis psikologis. Ada dua cara menumbuhkan harap dan takut sebagai obat. Pertama, dengan menggunakan i’tibar atau pemerhatian terhadap kasus yang ada, dimana fakta sosial atau data empiris menyajikan beberapa nasihat faktual bagi individu yang mengalami penyakit mental. Kedua, dengan merujuk petuah-petuah normatif yang diyakininya dari Al Quran dan Hadist. “Sesungguhnya, orang-orang yang takut kepada Allah diantara hamba-hamba-Nya, ialah orang-orang yang berilmu” (QS. Al A’rraf:154). Ayat tersebut menanamkan mental keimanan bahwa orang yang takut kepada Allah adalah orang yang memiliki ilmu. Sambil menanamkan rasa takut pada siksa Allah, manusia harus memperdalam ilmunya, sehingga menimbulkan mental berprestasi.”Allah ridho kepada mereka dan mereka ridho kepada Allah. Itu adalah bagi orang yang takut keapda Tuhannya” (QS Al Bayyinah:8). جَزَاؤُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ جَنَّاتُ عَدْنٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ ذَلِكَ لِمَنْ خَشِيَ رَبَّهُ (البينة: 8)
Ayat tersebut menanamkan mental keimanan bahwa orang takut kepada Allah adalah orang yang memiliki mental keagamaan yakni ridho diatur oleh Allah, dan akibat dari sikap ini, Allah pun ridho kepadanya.
Read More...
12 Oktober 2009
DALIHAN NA TOLU DALAM SISTIM MASYARAKAT ADAT YANG BERMARGA (BATAK)
Dalihan Natolu sebagai system kekerabatan bagi orang bermarga (keturunan batak) ternyata mempunyai nilai yang tidak kalah dengan system lain yang sangat populer saat ini, yaitu Demokrasi. “Dalihan Natolu” ini melambangkan sikap hidup orang bermarga dalam bermasyarakat. Sistem kekerabatan orang Batak menempatkan posisi seseorang secara pasti sejak dilahirkan hingga meninggal dalam 3 posisi yang disebut DALIHAN NA TOLU (bahasa Batak Toba) atau TOLU SAHUNDULAN (bahasa Simalungun). Dalihan dapat diterjemahkan sebagai “tungku” dan “sahundulan” sebagai “posisi duduk”. Keduanya mengandung arti yang sama, ‘3 POSISI PENTING’ dalam kekerabatan orang Batak.
Dalihan Na Tolu juga dapat diartikan sebagai tungku yang berkaki tiga, saling menyokong. Tanpa ada yang harus ditinggikan meskipun dalam acara-acara adat harus ada yang didahulukan.
Di lima sub-etnis Batak; Toba, Karo, Pakpak, Simalungun, Mandailing/ Angkola,. Dalihan Na Tolu memiliki persamaan. Toba; Hulahula, Dongan Tubu (Sabutuha), Boru. Sedangkan Simalungun menyebutnya Tolu Sahundulan; yang berarti Tondong (Toba=Hula-hula), Sanina (Dongan Sabutuha), Boru (boru). Sementara di Karo menyebut, Daliken Sitelu atau Rakut Sitelu. Istilah Daliken Sitelu berarti tungku yang tiga. Daliken berarti batu tungku, sementara Si samadengan Telu tiga. Menunjuk pada esensi kehidupan sehari-hari. Yang juga mengambarkan ada ikatan setiap individu Karo tidak lepas dari tiga kekerabatan tersebut. Unsur Daliken Sitelu ini adalah; Kalimbubu (Toba;Hula-hula), Sembuyak atau Senina (Dongan sabutuha), Anak Beru (Boru).
Sama juga halnya di Mandailing/Angkola sistim kekerabatan itu menunjukkan arti tumpuan, menunjuk pada hakekatnya yang didukung oleh kata dalian. Dalian berarti tumpuan mendasar pada budaya. Tumpuan Yang Tiga bagi kelangsungan hidup masyarakat Mandailing/Angkola. Mereka menyebut Mora (Toba; Hula-hula), Anakboru (boru), Hahanggi (Sabutuha).
Untuk lebih detailnya, berikut dikemukakan satu persatu istilah dimaksud:
1. Kelompok HULA HULA atau TONDONG, yaitu kelompok keluarga marga pihak istri. Kepada keluarga mereka disebut SOMBA SOMBA MARHULA HULA yang berarti harus hormat kepada keluarga pihak istri. “Hula-Hula” adalah Orang tua dari wanita yang dinikahi oleh seorang pria, namun hula-hula ini dapat diartikan secara luas. Semua saudara dari pihak wanita yang dinikahi oleh seorang pria dapat disebut hula-hula. Marsomba tu hula-hula artinya seorang pria harus menghormati keluarga pihak istrinya. Dasar utama dari filosofi ini adalah bahwa dari fihak marga istri lah seseorang memperoleh “berkat” yang sangat didominasi oleh peran seorang istri dalam keluarga. Berkat hagabeon berupa garis keturunan, hamoraon karena kemampuan dan kemauan istri dalam mengelola keuangan bahkan tidak jarang lebih ulet dari suaminya, dan dalam hasangapon pun peran itu tidak kurang pentingnya. Somba marhulal-hula supaya dapat berkat.
2. DONGAN TUBU atau SANINA, atau DONGAN SABUTUHA, yaitu kelompok orang-orang yang posisinya “sejajar”, yaitu: saudara ataupun teman semarga. Prinsip Hubungannya adalah MANAT MARDONGAN TUBU, artinya HATI-HATI menjaga persaudaraan agar terhindar dari perseteruan.
3. BORU, yaitu kelompok orang orang yang mengawini putri-putri dari seseorang tersebut atau saudara perempuan dan pihak marga dari suaminya, keluarga perempuan pihak ayah. Boru adalah anak perempuan dari suatu marga, misalnya boru hasibuan adalah anak perempuan dari marga Hasibuan tersebut. Prinsip hubungan nya adalah ELEK MARBORU artinya harus dapat merangkul boru/sabar dan tanggap. Dalam kesehariannya, Boru bertugas untuk mendukung/membantu bahkan merupakan tangan kanan dari Hula-hula dalam melakukan suatu kegiatan. Sangat diingat oleh filosofi ELEK MARBORU, bahwa kedudukan “di bawah” tidak merupakan garis komando, tetapi harus dengan merangkul mengambil hati dari Boru – nya. Dari ketiga kategori itu, biasa dibahasakan dengan istilah “somba marhulahula, manat mardongan tubu dan elek marboru”, yang bermakna masing-masing saling menghormati: pihak hulahula (keluarga isteri), mawas terhadap saudara kandung dan semarga serta sayang terhadap anak perempuan dan keluarga suaminya, harus dapat membujuk rayu, melindungi dan, mengayomi (boru) putri.
Ketiga dalihan tersebut, menjadi sistim sosial yang berupa filosofi, dan teraflikasi dalam upacara-upacara adat. Setiap unsur memiliki hak dan kewajiban yang berbeda, namun pada prinsipnya sama. Setiap orang bermarga menduduki ketiga status ini, pada saat tertentu dia bisa boru, hulahula, dan dongantubu. Jadi tidak selamanya posisi boru melekat. Paradoks tadi, ia bisa menjadi boru bisa menjadi hulahula—di adat borunya.
Dari sisi religi, Dalihan Na Tolu juga menggambarkan relasi manusia dengan sang pencipta. Yang disebut banua toru, banua tonga dan banua ginjang. DR. Philip. O.Tobing dalam bukunya The Structure of the Toba Batak Belief in the High God (1963) menyebutkan, Batara Guru, Bala (Mangala) Sori, dan Bala (Mangala) Bulan adalah representasi dari masing-masing hulahula, dongan-sabutuha dan boru.
Mengenai peristilah Dalihan Na Tolu atau Dalian Na Tolu, ada terdapat perbedaan prinsip menurut sebagain pendapat para penulis, seperti halnya yang dikemukakan oleh saudara Drs. Pengaduan Lubis (dalam websitnya di: http://www.mandailing.org/ind/rencana16.html, bandingkan juga dengan tulisan pada websit: http://hasibuan.webs.com/daliannatolu.htm,)beliau mengemukan perbandingan pada peristilahan masyarakat Mandailing. Menurut beliau perbedaan tersebut sangat mendasar kedudukannya dalam kehidupan dan kebudayaan dalam bermasyarkat. Dalam membicarakan sistem sosial Dalihan Na Tolu dalam konteks Mandailing, istilah Dalihan Na Tolu sengaja diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi Tumpuan Yang Tiga. Terjemahan menjadi Tiga Tungku Sejerangan yang sudah lumrah dianggap sebagai terjemahan yang ideal dan tepat untuk istilah Dalihan Na Tolu (sebagai suatu sistem sosial) sengaja dihindari.
Diterjemahkan istilah Dalihan Na Tolu menjadi Tumpuan Yang Tiga, dan bukan Tungku Tiga Sejerangan ialah, karena dengan terjemahan yang demikian itu diharapkan dapat diungkapkan dengan tepat dan ideal makna dan nilai filosofis yang diberikan oleh masyarakat Mandailing kepada Dalihan Na Tolu sebagai sistem sosialnya yang mendasar secara konseptual. Dalam hubungan ini dapat dijelaskan bahwa arti yang terkandung pada perkataan dalian dalam bahasa Mandailing bukan hanya satu saja dan khusus menunjukkan terjemahan maupun perlambang bagi istilah maupun sistem Dalihan Na Tolu dalam konteks Toba. Dalam bahasa Mandailing perkataan tersebut mengandung konsep dan konotasi filosofis yang menunjukkan arti tumpuan. Dan konotasinya yang menunjuk pada tumpuan inilah pada hakekatnya yang didukung oleh perkataan dalian dalam kelompok kata Dalian Na Tolu yang dipakai untuk menyebut sesuatu sistem sosial yang terdapat dalam masyarakat Mandailing, dan perkataan tersebut bukan mendukung arti denotatif tungku.
Penggunaan kata dalian dengan arti tumpuan mendasar dan membudaya dalam hidup orang Mandailing. Hal ini dapat dilihat melalui kenyataan yang ada sampai sekarang, bahwa orang Mandailing mempunyai tradisi untuk menamai anaknya yang laki-laki dengan nama Si Dalian, yang kemudian biasanya dipersingkatkan menjadi Si Lian. Dalam hal ini nama tersebut (dalian) secara konseptual mengandung makna tumpuan, dan bukan tungku. Dan menurut tradisi budaya Mandailing nama tersebut diberikan kepada anak laki-laki sebagai gorar lomo-lomo, artinya gelar yang mengandung sanjungan dan harapan. Melalui pemberian nama atau gelar yang demikian itu, orang Mandailing mengungkapkan pandangan filosofisnya terhadap status dan peranan yang diharapkan untuk didukung oleh anak laki-lakinya. Hal ini konsisten dengan sikap hidup orang Mandailing sebagai penganut garis keturunan patrilineal yang menempatkan anaknya yang laki-laki sebagai tumpuan (=dalian) harapan untuk meneruskan keturunannya dikemudian hari. Dengan perkataan lain, secara filosofis orang Mandailing memandang atau memberi nilai budaya terhadap anaknya yang laki-laki (Si Dalian) sebagai tumpuan bagi kelestarian eksistensinya. Paralel dengan ini, Dalian Na Tolu adalah sistem sosialnya yang merupakan Tumpuan Yang Tiga bagi kelangsungan hidup masyarakat Mandailing dalam bereksistensi.
Terlepas dari perbedaan pemahaman yang disampaikan oleh beberapa penulis sebagaimana diuraikan di atas, akan tetapi yang jelas menurut penulis bahwa peritilah Dalihan (dalian) Na Tolu tersebut dimaksudkan adalah bahwa dalam sistim pranata social masyarakat yang bermarga, ketiga komponen tersebut merupakan hal yang terpenting, sebab ketiga kelompok keluarga inilah yang dapat menyatukan dan melakukan suatu pekerjaan, hajatan bahkan rencana besar yang akan diaktualisasikan. Bila ketiga unsure tersebut sudah bersatu, tentu tidak ada lagi hambatan untuk melakukan sesuatu hal yang besar sekalipun. Dalihan Na Tolu ini menjadi pedoman hidup bagi orang yang bermarga teruma dari keturunan Batak dalam kehidupan bermasyarakat. Dalihan Na Tolu bukanlah kasta karena setiap orang Batak memiliki ketiga posisi tersebut; sebagiaman diuraikan di atas, ada saatnya menjadi Hula hula/Tondong, ada saatnya menempati posisi Dongan Tubu/Sanina dan ada saatnya menjadi BORU. Dengan Dalihan Na Tolu, adat Batak tidak memandang posisi seseorang berdasarkan pangkat, harta atau status sosial seseorang. Dalam sebuah acara adat, seorang Gubernur misalnya, harus siap bekerja mencuci piring atau memasak untuk melayani keluarga pihak istri yang kebetulan seorang Camat. Itulah realitas kehidupan orang Batak yang sesungguhnya. Lebih tepat dikatakan bahwa Dalihan Na Tolu merupakan SISTEM DEMOKRASI Orang Batak karena sesungguhnya mengandung nilai nilai yang universal.
23 September 2009
MENGENAL SILSILAH MARGA SI RAJA HASIBUAN
Marga sebagai identitas diri khususnya bagi masyarakat suku batak, merupakan salah satu identitas dalam membina kekompakan serta solidaritas sesama anggota marga sebagai keturunan dari satu leluhur, sehingga keutuhan marga - marga itu dalam kehidupan sistem " Dalihan Na Tolu " akan tetap abadi dan lestari sepanjang masa.
Dimana fungsi marga itu adalah sebagai landasan pokok yang menganut ketertiban dalam masyarakat suku batak mengenai seluruh jenis hubungan seperti adat dalam pergaulan sehari-hari, dalam adat Dalihan Na Tolu dan sebagainya. Dalam silsilah masyarakat suku batak ( dalam struktur tarombo) bahwa si Raja Hasibuan adalah keturunan dari si Raja Sobu, si Raja Sobu yang hidup pada abad XV atau sekitar tahun 1455 adalah keturunan ke V dari si Raja Batak, ayahnya bernama Tuan Sorbadibanua yang memiliki dua orang istri yang pertama bernama Nai Anting Malela dan memiliki anak lima orang dan istrinya yang ke dua bernama si Baru Basopaet ( Putri Mojopahit) PUTRI Raja Majapahit adek kandung dari Raden Widjaya dan memiliki anak tiga orang.Si Raja Sobu memiliki dua orang anak putra yang bernama Raja Tinandang atau lebih dikenal dengan bernama Toga Sitompul dan si Raja Hasibuan.
Di masa kecilnya, Toga Sitompul dan si Raja Hasibuan tinggal bersama orang tuanya di Desa Lobu Galagala yang terletak di kaki Gunung Dolok Tolong ( Kabupaten Toba Samosir saat ini ) dan setelah beranjak dewasa si Raja Hasibuan pergi merantau ke Desa Sigaol - Uluan dan menetap disana yang pada akhirnya menjadi bonapasogit marga Hasibuan, dan iapun mangalap boruni rajai boru Simatupang dari Muara.
Si Raja Hasibuan memiliki lima anak (putra) dan lima boru (putri), anak pertama bernama Raja Marjalo dan tinggal di Sigaol - Uluan dan tetap memakai marga Hasibuan, namun setelah berumah tangga Raja Marjalo membuat atau membuka perkampungan baru yang bernama Hariaramarjalo di Lumban Bao Sigaol saat ini, Hariara (pohon Ara) marjalo (namanya) dan membuat pertanda dengan menanam pohon Hariara (Ara) yang sampai saat ini masih berdiri kokoh, dan disampingnya telah dibangun Monumen si Raja Hasibuan yang sudah diresmikan pada tahun 2002 lalu. Anak ke dua adalah bernama Guru Mangaloksa, pergi merantau ke daerah Silindung dan menetap disana di kampung Marsaitbosi dan menikah dengan marga boru (putri) Pasaribu. Keturunan Guru Mangaloksa telah memakai nama/marga baru yaitu Marga Hutagalung, Marga Hutabarat, Hutatoruan dan Marga Panggabean. Kemudian keturunan marga Hutatoruan menjadi marga Hutapea dan marga Lumbantobing, sementara keturunan marga Panggabean ada yang memakai marga Simorangkir dan keturunan dari Guru Mangaloksa ini dikemudian hari di kenal dengan sebuatan " SI OPAT PUSORAN ".
Menurut cerita, bahwa sebahagian keturunan Guru Mangaloksa yang merantau ke Tapanuli Selatan Sipirok tetap memaki marga Hasibuan, begitu juga dengan marga Hasibuan dan marga Lumbantobing yang bermukin di Laguboti. Anak ketiga dari si Raja Hasibuan adalah Guru Hinobaan, pergi merantau ke Barus/Sibolga atau Asahan tetap memakai marga Hasibuan. Anak ke empat adalah bernama Guru Maniti dan ini dikabarkan pergi merantau ke daerah Aceh ( Nangro Aceh Darussalam saat ini) kemungkinan keturunan inilah yang mengaku batak sampulu pitu (17) ? yang bermukin di kabupaten Alas saat ini, dan hingga saat ini Parsadaan Pomparan ni Raja Hasibuan dimanapun berada masih menanti kembalinya keturunan anak yang hilang ini. Anak kelima adalah Guru Marjalang, pergi merantau ke Padang Bolak/Sibuhuon Tapanuli Selatan tetap memakai marga Hasibuan. Sedangkan ke lima boru (putri) si Raja Hasibuan adalah bernama si Boru Turasi marhamulion/marhuta (kawin) dengan marga Sitorus Pane di Lumban Lobu, si Boru Tumandi marhamulion/marhuta (kawin) ke marga Panjaitan di Sitorang, si Baru Taripar Laut marhamulion/marhuta (kawin) dengan marga Simanjuntak di Sitandohan Balige, si Boru Sande Balige ke marga Siahaan di Hinalang Balige dan si Boru Patar Nauli ke marga Siringoringo di Muara, dan ketika diadakan perayaan Monumen si Raja Hasibuan di Lumban Bao Hariaramarjalo tahun 2002 lalu semua perwakilan dari si Raja Hasibuan dan boru hadir bersama rombongan masing - masing, kecuali keturunan dari Guru Maniti yang tidak hadir.
Hingga saat ini, hukum dan tatanan adat tidak memperbolehkan marga Hasibuan untuk menikah dengan keturunan Guru Mangaloksa, walaupun berlainan marga begitu juga sebaliknya, tetapi anehnya sesama keturunan Guru Mangaloksa yang berbeda marga boleh dijadikan suami atau istri. Paling anehnya lagi, marga Hasibuan disebut tidak memiliki Pogu (empedu) katanya: Hasibuan na so marpogu on ( Hasibuan yang tidak punya Empedu ini ), rupanya waktu mudanya si Raja Hasibuan sering " Lari Pagi " bersama kuda kesayangannya, sehingga para tetangga secara iseng memberi julukan " na songon hoda mi do ho dang olo loja "(rupanya kamu seperti kudamu, tidak mau letih),"katanya, atau apakah memang kuda tidak memiliki Empedu ? atau barang kali si Raja Hasibuan dulunya adalah pekerja keras sehingga para adeknya semua berhasil mendapat gelar GURU.
Sejarah adalah suatu kisah masa lalu yang kemungkinan besar sulit diyakini dan dipercaya, bahwa sesuatu yang diceritakan itu benar adanya, namun alanhgkah baiknya kita sebagai generasi penerus sejarah meyakini dengan harapan dapat meluruskan suatu sejarah itu untuk sama - sama memahami demi kemajuan bersama, agar generasi yang akan datang sebagai generasi penerus dengan nilai positif untuk mengetahui asal usul leluhur marga, misalnya marga Hasibuan.
Dikutip dari Blog http://rajahasibuan.blogspot.com yang diposkan oleh eRHas
13 Agustus 2009
Rekreasi di Muara Nauli Taput
Halo semuanya, saya ingin menceritakan kepada kita bahwa salah satu pemnadangan yang merupakan tempat rekreasi untuk sekedar menghilangkan rasa penat bahkan bisa menyegarkan pikiran kita, cobalah sekali-sekali berekreasi ke Muara Nauli kabupaten tapanuli Utara. Letaknya tidak begitu jauh sekitar 1,5 jam perjalan dengan mengendarai roda empat, bisa juga dengan bersepeda motor. Tempat ini sepertinya kurang tertata dengan baik, sayang juga ya, padahal kalau ini dikelola dengan profesional setidaknya dibenahi sarana dan prasarana, seperti membuat tempat-tempat khusus untuk mandi-mandi, mck dan lain-lain, Ok. Ini sekedar beberapa poto pemandangan yang dapat kami abadikan.